Minggu, 04 Mei 2014

[FF] Time Effect (Chapter 2)

| Author : Shin Jaejae | Tittle : Time Effect (Chapter 2) |
| Genre : Romance, Marriage Life, Drama | Rate : PG-15| Length : Chaptered | Main Cast : Baekhyun EXO K, Shin Eunkyung (You) |
|Other cast : EXO K member’s, and find out more|

Summary       : Baekhyun, namja dingin dan acuh tak acuh terlahir dari keluarga kaya, bertemu dengan seorang yeoja mungil bernama Eunkyung yang sangat mandiri. Jangan harap pertemuan yang romantis atau bahagia, namun pertemuan konyol yang mengantarkan mereka ke kehidupan baru yang penuh lika-liku. Dapatkah Eunkyung mengubah sifat Baekhyun yang egois dan dingin?


Yeaaay‼Akhirnya Chapter 2 dataaang‼! Nggak usah basa-basi langsung baca aja deh :D
Happy reading…

----TIME EFFECT Chapter 2-----
            “Aku—bersedia.”, kata Eunkyung dengan nada berat. Baekhyun tersenyum kecil. Semua hadirin bertepuk tangan. Tidak begitu riuh terdengar, karena hanya beberapa saja yang datang.
            “Baiklah, kalian sah sebagai pasangan suami istri.”, kata penghulu pada akhirnya.
            Acara pun berlanjut dengan penyematan cincin. Sehun sang pembawa cincin pun ke depan menyerahkan cincin kepada pasangan itu. Baekhyun mengambil cincin, lalu disematkan ke  jari manis Eunkyung. Semua hadirin bertepuk tangan lagi.
            “Cium! Cium! Cium!”, terdengar seorang tamu berteriak, yang membuat tamu-tamu lain terprovokasi dan ikut-ikutan menyahut.
            “Cium! Cium! Cium!”, teriak tamu serempak sambil tertawa-tawa.
            Baekhyun yang masih tersenyum-senyum hanya mengangguk menanggapi permintaan para tamu. Eunkyung yang melihat ekspresi Baekhyun kemudian berbisik, “Ya! Jangan macam-macam! Yang satu itu tidak ada dalam perjanjian!”
            Baekhyun menoleh kepada Eunkyung, kemudian tersenyum kecil. Dia pun berbisik, “Kau lihat orang tuaku mengawasi kita berdua. Kalau aku tidak melaksanakan -apa yang harusnya pengantin lakukan-  nanti mereka akan curiga dengan pernikahan ini!”
            Eunkyung menoleh ke arah para tamu. Tampak kedua orang tua Baekhyun memandang ke arahnya. Eunkyung hanya mengangguk dan tersenyum kikuk.

            “Cium! Cium! Cium!”. Teriakan tamu semakin keras.
            Baekhyun mulai mendekatkan kepalanya ke arah Eunkyung. Teriakan tamu menjadi semakin riuh. Dengan hati-hati dia berbisik, “Kau menurut saja, sudah terlanjur basah!”
            “Shi—“, ucapan Eunkyung terputus, karena bibir Baekhyun sudah mendarat di bibirnya. Mata Eunkyung membelalak. Tiba-tiba saja darahnya serasa berdesir kencang.
---
            “Kau cepat berganti pakaian. Antarkan istrimu ke rumahnya untuk mengambil barang-barang yang diperlukannya!”, kata aboeji Baekhyun saat melihat Baekhyun sedang duduk di sofa tamu.
            “Tapi—abeoji, aku masih lelah, acara pernikahan baru saja selesai, dan aku harus mengantarnya ke rumahnya?”, jawab Baekhyun dengan wajah malas. Dia masih mengenakan kemeja putih dengan dasi kupu-kupu yang melingkar di kerahnya. Sepatunya pun belum sempat dia lepaskan.
            “Kau menolak perintah abeojimu? Hah?”, ucap abeoji Baekhyun dengan nada meninggi. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapan Baekhyun. Akhir-akhir ini memang abeoji Baekhyun menjadi mudah naik darah, begitu pula dengan Baekhyun. Baekhyun sudah ingin menjawab perkataan abeojinya itu. Wajahnya merah menahan emosi.
            “Gwenchana—ahjusshi—umm…”, kata Eunkyung berusaha menengahi percakapan antara anak dan ayah itu. Eunkyung bangkit berdiri, dia tidak ingin mendengar perselisihan antara ayah dan anak, apalagi itu yang menyangkut tentang dirinya.
            “Abeoji. Panggil aku abeoji.”, jawab abeoji Baekhyun tanpa memandang ke arah Eunkyung. Kedua matanya membelelak, lalu mengerjap-ngerjap. Eunkyung terkejut dengan apa yang dikatakan abeoji Baekhyun. Kata-katanya yang tadi akan dikatakan pun seakan lenyap. Dia berusaha mencerna apa yang dikatakan abeoji Baekhyun tadi. Baekhyun pun merasa terkejut, sehingga dia tidak mengatakan apapun pada abeojinya. Sama terkejutnya dengan Eunkyung, dia tidak menyangka abeojinya mengatakan hal itu, mengingat orang tua Baekhyun yang sebenarnya sangat tidak suka dengan pernikahan Baekhyun ini. Abeoji Baekhyun menyadari suasana canggung di ruangan itu, kemudian berdehem kecil.
            “Baiklah, kau istirahatlah dulu, baru nanti kau antarkan istrimu mengemasi barang-barangnya.”, kata abeoji Baekhyun dengan sangat tenang. Dia pun berlalu dari tempat itu.
---
            “Ya! Sampai kapan kau akan bersantai di situ terus? Ayo pindah!”, ajak Baekhyun dengan malas. Baekhyun segera beringsut dan berjalan menjauhi Eunkyung. Eunkyung yang duduk di sofa hanya memandang Baekhyun dengan malas, kemudian beranjak dari kursinya dan mengikuti Baekhyun. Baekhyun memimpin di depan, Eunkyung mengekor di belakangnya sambil berjalan terseok-seok. Kakinya sangat pegal karena seharian berdiri dengan high heels. Akhirnya mereka pun sampai di ruangan kamar Baekhyun, Baekhyun pun berhenti. Baekhyun mulai membuka pintu kamarnya dan menyuruh Eunkyung masuk.
            Kamar Baekhyun sangat luas dengan nuansa biru laut. Ranjangnya sangat besar,  mungkin cukup untuk dimuati 3 orang. Ranjang itu menghadap ke jendela kaca yang cukup besar. Di dekat jendela terletak sebuah sofa warna merah maroon yang juga sangat besar. Berbagai koleksi miniatur tertata rapi di sebuah lemari kaca besar di sudut ruangan. Tak lupa dua buah lemari besar tempat baju-bajunya disimpan berada di sebelah lemari kaca itu.
            “Aku tidur di situ.”, kata Baekhyun sambil menunjuk ranjang besarnya. “Kau tidur di sana.”, tambah Baekhyun lagi sambil menunjuk sofa besar berwarna merah maroon di dekat jendela. Sofa itu sangat besar, bahkan hampir seukuran tempat tidur. Eunkyung mengrenyitkan dahinya.
            “Mwo?? Kau suruh aku tidur di sana? Shireo!”, tolak Eunkyung mentah-mentah. Baru kali ini dia bertemu dengan namja yang tidak memiliki manner dengan seorang yeoja.
            “Aku tidak suka berbagi tempat tidur!”, jawab Baekhyun cepat. Dia tak mau mengalah.
            “Memangnya siapa juga yang mau berbagi tempat tidur denganmu? Sampai kapanpun aku tak akan mau!”, jawab Eunkyung bersungut-sungut. “Memangnya rumah sebesar iini tidak ada kamar yang lain?”, tanya Eunkyung menuntut. Pandangannya memutar ke sekeliling kamar. Dia benar-benar tampak jengkel dengan sikap Baekhyun. Kedua tangannya bahkan kini sudah berkacak di pinggangnya.
            “Abeoji yang menyuruh kita harus sekamar.”, jawab Baekhyun santai. Wajahnya tetap tidak menunjukkan ekspresi apapun.
            “Kalau begitu aku pulang saja ke rumahku sendiri.”, jawab Eunkyung tak mau kalah. Dia benar-benar tidak setuju dengan keputusan itu. Dia sudah akan berniat meninggalkan ruangan itu.
            “Tidak bisa. Kau harus tetap di sini, sampai saatnya nanti waktu yang tepat kita berpisah. Sebelum semua itu kau harus menuruti kemauan orang tuaku.”, jawab Baekhyun ringan, kemudian menjatuhkan badannya ke ranjang. “Ingat perjanjian kita.”, kata Beakhyun sambil meraih ponselnya dan mulai mengutak-atiknya. Langkah Eunkyung seketika terhenti mendengar perkataan Baekhyun.
            Mendengar itu Eunkyung hanya menghela nafas panjang. Perlahan dia beranjak ke arah sofa. Menjatuhkan badannya begitu saja, seperti dia sudah tak mampu lagi menopang berat badannya. Dia benar-benar harus menahan emosinya. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya beberapa hari ini. Semua itu terjadi begitu saja, bahkan tanpa pernah ia sadari. Dan hari ini, merupakan hari yang sangat melelahkan baginya, bukan hanya fisik, namun juga mentalnya. Namun ia sadar, ini baru permulaan. Masih banyak hal berat yang akan muncul di kehidupannya setelah ini.
            Eunkyung hanya mencoba membaringkan badannya, matanya terpejam. Dia hanya berharap semoga ini semua cepat berlalu. Dia bahkan heran, mengapa dia bisa sampai masuk dan mengalami masalah seperti ini. Ingin rasanya dia kembali ke waktu saat dia belum bertemu Baekhyun. Dan saat dia membayangkan hal itu, tiba-tiba dirasakannya sebuah bantal menimpa kepalanya. Matanya seketika terbuka, badannya terbangun. Pandangannya teralih pada Baekhyun yang berbaring sambil menyilangkan kakinya. Belum sempat dia mengatakan sesuatu, sebuah selimut sudah menimpa badannya.
            “Pakai itu, agar tidak kedinginan.”
            Eunkyung tidak bersuara sama sekali. Emosinya semakin memuncak, namun dia memilih diam dan kembali berbaring. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Namun suara yang terakhir dia dengar itu benar-benar mengusik hatinya. Mengusik hatinya, seperti menorehkan sayatan kecil di hatinya itu. Perih memang.
---
            Biasanya Eunkyung akan terbangun dengan suara-suara burung di pagi hari. Namun pagi ini berbeda, tidak ada satu pun suara burung yang terdengar. Mungkin saja itu karena rumah Baekhyun yang terlalu besar, atau memang Eunkyung yang terlalu lelah sehingga tak ada satu pun suara yang bisa didengarnya.
            Namun tiba-tiba sebuah goncangan kecil mulai membangunkannya. Ingin Eunkyung mengabaikannya, namun semakin lama goncangan itu semakin kuat, disusul dengan suara-suara yang memekakkan telinganya.
            “Ya! Kau mau tidur sampai jam berapa? Ini sudah siang! Aku harus segera ke kampus hari ini!”, suara itu terus-terusan mengganggu telinganya. Suara yang sangat dikenalnya, ya, suara Baekhyun.
            “Kau juga harus ke kampus hari ini! Izinmu untuk tidak masuk kuliah sudah habis! Hari ini kau harus ke kampus! Ppali ireonaa‼”, teriak Baekhyun lebih keras. Eunkyung perlahan mulai bangun, matanya dikejap-kejapkan.
            “Cepat bangun dan mandi! Aku sudah hampir terlambat!”, teriak Baekhyun sambil memberikan sebuah handuk. Baekhyun pun bergegas ke mejanya untuk membereskan tasnya.
            Eunkyung bangkit. Perlahan-lahan dia berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Matanya pun melirik ke sebuah jam dinding yang tergantung di dinding kamar. Pukul 8 pagi. Biasanya pada waktu seperti itu dia mendengar nyanyian merdu. Tapi bukannya nyanyian burung merdu yang ia dengar, namun nyanyian terberisik di dunia yang baru kali ini ia dengar.
---
            “Ppaliwaa! Cepat ambil helm itu, aku sudah sangat terlambat!”, kata Baekhyun. Dia sudah mengenakan kemeja warna biru dan jeans hitam. Sebuah tas ransel pun menghiasi punggungnya. Dia mulai melangkah keluar kamar.
            “Arra! Arra! Kenapa aku harus membawa helm?”, tanya Eunkyung bergegas membereskan tasnya serampangan.
            “Sudah, bawa saja!! Cepat, kalau kau tidak mengikutiku, kau kutinggal!”, jawab Baekhyun. Eunkyung semakin tergesa-gesa. Baekhyun sudah menutup pintu kamar. Eunkyung semakin panik, langsung saja dia bergegas meraih tas yang belum sempat benar-benar dia rapikan, mengambil helm lalu berlari menyusul Baekhyun. Sampai di bawah, Baekhyun sudah menyalakan motor besarnya.
            Saking tergesanya, Eunkyung bahkan tidak tahu sepatu apa yang dia pakai hari ini. Dia hanya cepat-cepat menuju motor yang sekarang ditumpangi Baekhyun. Dengan segera dia duduk di jok belakang. Belum selesai Eunkyung mengenakan helm, Baekhyun sudah melajukan motornya. Eunkyung yang kaget hanya reflek berpegangan pada pundak Baekhyun. Baru 10 menit Baekhyun mengendarai motornya, Eunkyung menepuk punggung Baekhyun dengan keras.
            “Ya! Ya! Tidak bisakah kau mengendarai lebih lambat sedikit? Sangat berbahaya, kau tahu?!”, teriak Eunkyung. Baekhyun berpura-pura tidak mendengar, malah semakin menambah kecepatan motornya. Eunkyung semakin ketakutan, pukulan di punggung Baekhyun semakin keras.
            “Ya! Kalau kau tidak mau melambat, lebih baik turunkan aku di sini!” teriak Eunkyung. Mendengar itu, Baekhyun pun melambatkan motornya perlahan, namun motornya menepi. Motornya pun kemudian benar-benar berhenti.
            “As you wish. Sekarang turun dari motor ini. Kau berisik sekali.”, kata Baekhyun dingin. Eunkyung tersentak dengan kata-kata Baekhyun, dengan segera ia turun dari motor, mencopot helmnya kemudian memberikannya dengan kasar pada Baekhyun.
            “Geure! Pergi saja sendiri. Aku bisa ke kampus dengan usahau sendiri.”, jawab Eunkyung geram, dia masih menjaga harga dirinya.
            “Eo.”, jawab Baekhyun singkat, meletakkan helm Euknyung, kemudian segera melajukan motornya. Dia meninggalkan Eunkyung sendirian di pinggir jalan. Perjalanan menuju kampus Eunkyung masih setengah jalan. Sedangkan rumah Baekhyun juga sudah terlalu jauh. Eunkyung hanya bisa menghembuskan nafas panjang, menghadapi laki-laki seperti Baekhyun.
            Eunkyung memeriksa tasnya, mencari uang untuknya naik bus. Betapa sialnya, dia tidak membawa dompetnya. Dia tidak membawa uang sama sekali. Dia pun mencari ponselnya, mencoba menghubungi temannya. Tetapi karena tadi pagi dia sangat tergesa-gesa, bahkan ponselnya pun ditinggalkannya di rumah Baekhyun. Dan baru disadarinya, dia memakai sepatu dengan hak lumayan tinggi. Dia benar-benar terburu-buru, sehingga dia lupa membawa barang-barang yang sangat penting, dan bahkan sepatu yang dipakainya pun salah. Ingin rasanya saat itu Eunkyung menangis, mengumpat, mencaci perbuatan Baekhyun. Karena Baekhyun, semua kesialan itu menimpa dirinya. Belum pernah dia merasa sesial ini. Tapi karena mencaci Baekhyun saat itu pun adalah hal yang sia-sia, akhirnya dia memutuskan untuk mulai berjalan. Berjalan entah ke mana dia juga tidak tahu. Tak peduli apa yang nanti akan terjadi dengan kakinya.
---
            “Omona, agashi. Apa yang terjadi? Kenapa agashi berjalan kaki?”, tanya ahjumma yang bekerja di rumah Baekhyun menyambut Eunkyung yang datang sempoyongan karena sakit yang luar biasa pada kakinya setelah berjalan sejauh 6 km. Eunkyung hanya meringis, tak berkata apa-apa. Ajuhmma pun segera menuntunnya menuju ruang tamu dan mendudukkan Eunkyung.
            Eunkyung melepas sepatu dan tas yang melekat di badannya. Wajahnya memerah karena kelelahan. Keringatnya bercucuran. Nafasnya terengah-engah. Belum lagi tumitnya yang terasa berdenyut-denyut tak karuan. Tumit dan telapak kakinya pun berwarna kemerahan karena sepatu yang dipakainya. Terlihat memar di beberapa tempat.
            “Agashi duduk dulu saja, akan saya ambilkan air minum. Sebentar.”, kata ahjumma itu tergesa-gesa menuju dapur. Eunkyung hanya mengangguk. Dia terduduk lemas tanpa berkata apapun. Tak lama kemudian, ahjumma itu datang sambil membawa sebuah baskom dan handuk. Datang pula ahjumma yang lain membawa segelas air minum. Diberikannya air minum itu pada Eunkyung yang sangat kehausan. Segelas air dari ahjumma tadi langsung diteguk Eunkyung habis.  Ahjumma itu pun cepat-cepat berjongkok di depan Eunkyung dan membasuh kaki Eunkyung yang kemerahan.
            “Ani ahjumma. Biar nanti aku yang basuh kakiku sendiri.”, kata Eunkyung merasa tidak enak dengan perlakuan ahjumma itu. Eunkyung akhirnya bisa mengeluarkan suara setelah tadi dia merasa separuh nyawanya serasa menghilang.
            “Ani, gwenchana, agashi. Agashi terlihat kelelahan sekali. Memangnya apa yang terjadi, agasshi?”, tanya ahjumma itu sambil terus membasuh kaki Eunkyung dengan air es yang dibawanya tadi. Kaki Eunkyung seketika terasa segar. Eunkyung hanya sesekali mendesis kecil saat air itu mengenai kakinya yang agak memar.
            “Ceritanya cukup panjang, Bi.”, kata Eunkyung. Wajahnya pun berubah kesal mengingat kejadian yang menimpanya tadi pagi. Ahjumma itu hanya mengangguk. Eunkyung pun menceritakan apa yang dialaminya sejak tadi pagi. Ahjumma itu mendengarkan sambil tersenyum dan sesekali mengangguk.
            “Baekhyun orang yang sangat menyebalkan! Iya, kan Bi?”, tanya Eunkyung dengan kesal. Ahjumma itu hanya tersenyum, kemudian mengelap kaki Eunkyung dengan handuk lembut. Dilapya kaki Eunkyung dengan hati-hati dan telaten.
            “Tuan muda orang yang sangat baik, Nona. Mungkin dia memang seperti itu, tapi sebenarnya dia orang yang perhatian.”, kata ahjumma itu dengan bijak. Dia pun segera beringsut pergi menyingkirkan baskom dan handuk yang digunakannya tadi. Kemudian dia berjalan ke dapur meninggalkan Eunkyung yang penuh tanda tanya. Eunkyung malah menjadi semakin bingung dengan apa yang dikatakan Bibi tadi, kemudian hanya melihat kedua kakinya yang sedikit merasa lebih baik. Warna kemerahan pun berkurang. Hanya mungkin masih bersisa perih memar akibat sepatu yang dipakainya tadi. Bibi itu kemudian datang lagi dengan membawa sepasang sandal bulu yang terlihat sangat empuk.
            “Nona pakai ini saja. Sepertinya bisa mengurangi rasa sakit saat berjalan.”, kata Bibi itu ramah. Eunkyung menerima sepasang sandal bulu itu dan mulai memakainya. Kakinya menjadi terasa sangat nyaman karena menyentuh bulu yang sangat lembut.
            “Gamsahamnida”, kata Eunkyung. Bibi itu hanya tersenyum. Bibi itu pun pergi berlalu.
***
            Baekhyun melangkah menuju rumahnya dengan headset yang terpasang di telinganya. Tanpa berkata apapun dia segera menuju ke kamarnya. Tas ransel di pundaknya ditanggalkannya. Dia melihat sekeliling kamarnya. Ada sesuatu yang janggal. Tanpa berpikir dua kali, dia kembali turun dan menuju ke ruang perpustakaan. Dia menebar pandangannya ke sekeliling perpustakaan, tetap tidak ditemukannya. Dia pun mulai melangkah ke ruang makan, tanpa sengaja berpapasan dengan salah satu ahjumma.
            “Tuan muda sedang mencari apa?”, tanya ahjumma itu setelah membungkukkan badannya di hadapan Baekhyun.
            “Umm, apa Bibi melihat di mana Eunkyung? Aku tidak melihatnya di manapun.”, jawab Baekhyun dengan wajah serius. “Apa dia belum pulang?”, tanya Baekhyun.
            “Nona muda sudah pulang sejak tadi pagi Tuan muda. Kasihan sekali nona tadi, berjalan pulang sampai kakinya lecet.”, jawab Bibi itu sungguh-sungguh. Baekhyun menaikkan sebelah alisnya, heran. Namun dia segera mengubah ekspresinya menjadi senatural mungkin.
            “Lalu sekarang dia di mana, Bi?”, tanya Baekhyun lagi. Pandangannya mulai menebar ke sekeliling. Di belakang dapur ada halaman belakang rumah Baekhyun yang penuh dengan tanaman hias dan sebuah air mancur. Namun tak ditangkapnya sosok Eunkyung di taman itu.
            “Maaf Tuan muda, saya juga tidak tahu di mana nona muda sekarang. Karena yang saya tahu tadi nona muda hanya pergi ke ruangan, um, kamar Tuan muda.”, jawab Bibi itu, membungkukkan badannya lagi.
            “Ne, gomawo Bibi.”, jawab Baekhyun, kemudian segera berbalik arah menuju ke luar rumah. Diliriknya jam tangan yang dikenakannya. Pukul 3 sore. Tanpa berbicara dia segera menuju mobilnya di depan rumah. Mobilnya pun segera melaju kencang.
***
            “Noona. Kau di dalam?”, tanya seseorang sambil mengetuk pintu rumah seeorang. Sebentar kemudian seseorang dengan rambut coklat panjang membukakan pintu sambil tersenyum lebar. Kakinya penuh dengan warna obat merah. Lelaki yang mengetuk pintu itu tersenyum, namun memperhatikan kaki wanita itu.
            “Lama sekali tak bertemu, Jongin. Masuklah.”, kata wanita itu. Senyumnya tak lepas dari wajahnya. Lelaki itu mengangguk, kemudian mulai mengikuti langkah wanita itu. Diperhatikannya wanita itu baik-baik. Caranya berjalan tidak seperti biasa, sedikit diseret langkahnya karena kakinya yang terlihat sakit. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah ruang tamu kecil, yang hanya terdiri dari sebuah meja kecil dan beberapa alas duduk. Dipersilakannya laki-laki itu duduk, kemudian wanita itu beranjak mengambil air minum untuk laki-laki itu.
            Rumah wanita itu tidak besar, bahkan mungkin kecil. Ruang tamu bercampur jadi satu dengan dapur dan ruang makan. Tempat tidurnya pun mungkin juga bisa dibilang menjadi satu, jika saja tidak terhalang oleh sebuah papan kayu besar dan tinggi. Rumah wanita itu memang kecil, karena memang hanya rooftop sewaan.
            “Kau mau minum apa, Jongin? Tapi maaf, aku hanya punya teh dan air putih saja.”, tanya wanita itu ramah.
            “Gwenchana. Tak perlu repot-repot Noona. Air putih saja.”, jawab laki-laki itu tersenyum. Wanita itu mengangguk, kemudian dituangkannya segelas air putih dingin dan dibawanya ke hadapan laki-laki itu. Wanita itu pun segera duduk di hadapan laki-laki itu.
            “Ke mana saja kau selama ini Noona? Aku mencarimu seminggu ini, tapi kau tidak pernah ada di rumah. Aku sangat khawatir, kukira kau sudah pindah.’, tanya Jongin dengan wajah serius, tampak wajahnya penuh dengan banyak pertanyaan. Wanita itu menggeleng sambil tersenyum kaku. Dia mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar tak tampak kaget.
            “Aku tidak pindah, Jongin. Aku hanya berlibur sebentar. Mianhae, aku tak memberitahumu.”, jawab wanita itu serius. Jongin masih belum puas dengan jawaban wanita itu.
            “Berlibur ke mana? Kenapa sampai ponselmu juga tak dapat kuhubungi?”, tanya Jongin lagi dengan wajah penasaran. Dilihatnya wanita itu, tak ada ekspresi yang memberitahunya bahwa wanita itu berbohong. Kemudian dilihatnya tangan wanita itu. sebuah cincin melingkar di jari manisnya.
            “Aku berlibur ke Jepang. Maka dari itu kau tidak dapat menghubungiku.”, jawab wanita itu dengan nada datar. “Bagaimana keadaan cafe? Maaf aku tak bisa bekerja beberapa hari ini.”, tanay wanita itu mengalihkan pembicaraan.
            “Memang agak kewalahan tanpa Noona. Namun Minseok dan Jongdae hyung ikut turun tangan, jadi semua lancar.”, jawab Jongin datar. “Tapi kapan kau akan bekerja lagi? Hari ini kau sudah pulang, kan?”, tanya Jongin penasaran.
            “Aku jadi merasa bersalah. Meninggalkan pekerjaan tanpa setahu manajer. Bagaimana nanti kalau Minseon oppa marah?”, tanya wanita itu lagi. Jongin hanya meneguk air putih di hadapannya. Pundaknya diangkatnya ke atas, tanda bahwa dia tak mengerti. Wanita itu menghela nafas panjang.
            “Sepertinya aku harus segera menelepon Oppa.”, kata wanita itu asal, sambil mengetik di ponselnya. Jongin hanya melihat apapun yang dilakukan wanita itu.
            Belum usai wanita itu mengetik di ponselnya, tiba-tiba terdengar suara pintu rumahnya diketuk perlahan oleh seseorang. Wanita itu segera menghentikan kegiatannya, begitu pula Jongin. Kini kedua mata mereka terarah ke arah pintu.
            “Hwaa. Mungkin itu Minseok hyung. Kebetulan sekali.”, celetuk Jongin sambil menyengir.
            “Mungkin saja. Coba ku buka pintunya.”, jawab wanita itu sambil beranjak dari duduknya. Dia pun berjalan ke arah pintu. Dibuka pintunya perlahan. Saat pintu terbuka, betapa kaget dia melihat sosok di hadapannya itu
            “Baek…hyun…kau..”, kata wanita itu terbata-bata karena kagetnya.
            “Hm, benar dugaanku. Kau di sini ternyata Shin Eunkyung.”, kata Baekhyun tanpa melepas kacamata hitam yang dipakainya. Tanpa basa-basi, dia pun menarik lengan Eunkyung. Eunkyung menepis tangan Baekhyun. Kepala Baekhyun menoleh menatap Eunkyung. Dilepasnya kacamata hitam yang dipakainya.
            “Mwoyaa?!”, kata Baekhyun ketus. Dipandangnya Eunkyung dengan pandangan tak percaya.
            “Shireo!”, jawab Eunkyung, setengah berteriak. Jongin yang sejak tadi hanya memandang peristiwa itu kemudian bangkit berdiri mendekati Eunkyung.
            “Noona, ada apa ini? Siapa orang ini?”, tanya Jongin sambil memperhatikan lelaki di hadapannya itu dengan pandangan tidak suka. Baekhyun yang merasa diperhatikan mulai bersuara.
            “Seharusnya aku yang tanya, kau ini siapa?”, Baekhyun balik bertanya, dengan nada yang tidak kalah tinggi. Jongin, laki-laki yang ada di hadapannya ini memang terlihat lebih tinggi dan lebih besar dari Baekhyun, namun itu semua tidak membuat Baekhyun gentar. Jongin yang mendengar kata-kata Baekhyun hanya melengos.
            “Kenapa kau datang tiba-tiba menarik lengan noona? Kau tidak berhak melakukan itu!”, kata Jongin berteriak. Baekhyun berdecak.
            “Yak! Eunkyung! Siapa sebenarnya bocah ini?”, tanya Baekhyun memandang Eunkyung. Eunkyung sedari tadi diam mematung memperhatikan adegan di depannya itu.
            “Kau! Tidak bisakah kau berkata lebih sopan kepada seorang yeoja? Dan—aku bukanlah seorang bocah!”, kata Jongin geram. Emosinya semakin memuncak. Tangan kanannya sudah mengepal erat, bersiap untuk memukul wajah Baekhyun, yang menurutnya sangat memuakkan.
            Tangan Jongin sudah akan melayang menuju wajah Baekhyun, namun seketika terhenti karena tangan Eunkyung yang menahannya. Jongin memalingkan wajahnya ke arah Eunkyung. Wajah Eunkyung memerah, menahan emosi. Tangan dan badan Eunkyung terlihat bergetar. Mungkin emosinya sudah sangat memuncak.
            “Kau, kau pergilah dulu Jongin. Tolong katakan pada oppa aku tidak bisa ke cafe hari ini.”, kata Eunkyung dengan suara bergetar. Kemarahan Jongin memudar, kepalan tangannya sudah terbuka. Namun kini perhatiannya teralih pada Eunkyung.
            “Tapi noona..noona..”, kata Jongin khawatir. Eunkyung hanya mengangguk, dengan masih mencoba untuk tersenyum.
            “Kau pergilah dulu. Nanti aku hubungi.”, kata Eunkyung dengan nada lembut. Jongin masih tak beranjak dari posisinya. Dia masih memandang Eunkyung dengan sangat teliti. Baekhyun yang melihat Jongin menjadi risih, kemudian dia berdecak bosan.
            “Kau tidak dengar apa yang dikatakan Eunkyung? Cepat pergi!”, kata Baekhyun sambil memakai lagi kacamata hitamnya. Jongin hanya mendengus kesal, kemudian segera melangkah pergi. Didekatinya Baekhyun dengan pandangan benci.
            “Aku pergi bukan karena kau yang suruh! Ini karena noona yang memintaku! Ingat, itu!”, kata Jongin geram. Baekhyun hanya tertawa kecil. Jongin mendengus.
            “Aku tunggu kau menelepon.”, kata Jongin, kemudian segera pergi beranjak dari rumah Eunkyung. Eunkyung melambaikan tangan. Setelah punggung Jongin tak terlihat, baru dia fokus pada Baekhyun. Ditatapnya Baekhyun dengan pandangan sinis.
            “Siapa bocah itu? Kenapa kau memperbolehkannya masuk ke rumahmu?”, tanya Baekhyun.
            “Bukan urusanmu. Cepat, katakan maksudmu, mau apa kau ke sini?”, tanya Eunkyung ketus.
            “Ayo cepat kita pulang. Abeoji dan eomma sebentar lagi akan pulang. Aku tidak mau mereka melihat kau tidak ada di rumah.”, kata Baekhyun datar. Eunkyung memandang Baekhyun dengan pandangan heran.
            “Shireo. Kau pulang saja sendiri.”, jawab Eunkyung, dia mencoba menutup kembali pintu rumahnya. Namun Baekhyun menahan pintu itu.
            “Aku tidak mau pulang tanpa kau. Ayo cepat kita beresi barangmu, lalu kita pulang.”, kata Baekhyun lagi. Eunkyung semakin emosi mendengar perkataan Baekhyun.
            “Apakah begini caramu memperlakukan orang? Kau bahkan tidak punya sopan sama sekali!”, kata Eunkyung kesal.
            “Kau tidak perlu mengajariku cara memperlakukan orang. Kalau kau tidak mau memberesi barang-barangmu, baiklah. Biar besok para ahjussi yang membereskan rumahmu ini.”, kata Baekhyun.
Shireo. Kau kembali saja sendiri!”, tolak Eunkyung. Baekhyun yang merasa jengah hanya menarik napas panjang. Tak disangkanya Eunkyung adalah seorang wanita yang keras kepala. Dia mendongakkan kepalanya, memandang ke langit. Telunjuk kanannya memperbaiki letak kacamata hitamnya. Secara tak sengaja, pandangan matanya tertuju pada kaki Eunkyung yang berlumuran obat merah.
“Kenapa dengan kakimu?”, tanya Baekhyun penasaran. Eunkyung mendongak, dia malah menjadi semakin emosi.
“Kau habis dari mana? Kenapa kakimu bisa seperti itu?”, tanya Baekhyun lagi, karena pertanyaannya yang tadi tidak segera dijawab. Badannya agak dibungkukkan agar dia bisa mengamati kaki Eunkyung lebih jelas.
Kesabaran Eunkyung rasanya sudah habis. Dengan tenaga penuh, tangan kanannya menjitak kepala Baekhyun dengan keras. Baekhyun terkejut bukan main.
Yaaa‼ Apa yang kau lakukan? Kenapa kau jitak kepalaku?”, teriak Baekhyun sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit. Kacamatanya dengan serta merta dia buka. Sebelah matanya dia pejamkan, mulutnya meringis, tanda jitakan Eunkyung di kepala Baekhyun cukup keras.
“Itu balasan yang kau terima karena membuat kakiku jadi seperti ini!”, jawab Eunkyung bersungut-sungut.
Mwoya?! Apa hubungannya kepalaku dengan kakimu itu? Huh?”, jawab Baekhyun semakin tidak mengerti.
“Karena kepalamu yang kosong itu tak pernah berpikir akibat dari kau menurunkanku di tengah perjalanan tadi membuat kakiku jadi begini!”, jawab Eunkyung. Baekhyun menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, tanda dia kebingungan.
“Gara-gara kau menurunkanku di tengah perjalanan, aku harus berjalan kaki sampai ke rumah sampai kakiku lecet seperti ini, kau tahu!”, jelas Eunkyung lagi.
Wae? Kenapa kau menyalahkanku? Kau yang memintaku untuk menurunkanmu, kan?”, jawab Baekhyun membela diri.
“Jelas saja kau bersalah! Kau menurunkanku di tengah perjalanan, dan aku tidak membawa dompet atau uang sepeserpun…”
“Dan kau harus berjalan kaki sampai ke rumah, begitu, kan? Lalu apa hubungannya kakimu yang sakit dengan kau pergi dari rumah?”, sela Baekhyun dengan wajah tidak sabar. Eunkyung terdiam, sepertinya dia tersentak dengan apa yang baru saja dikatakan Baekhyun.
“Kau…kau! Ya!”, teriak Eunkyung yang kehabisan kata-kata. Ingin rasanya dia mencaci Baekhyun saat itu.
“Sudahlah, semua alasanmu itu tak ada hubungannya dengan pergi dari rumah! Sebagai ISTRI yang baik, kau sekarang harus pulang. Kau beruntung, aku masih berbaik hati padamu.”, kata Baekhyun, dengan memberikan penekanan pada kata ISTRI. Dia memperbaiki letak kacamatanya lagi.
Shireo! Kau pulang saja sendiri!”, kata Eunkyung lagi, kini dia membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah. Baekhyun semakin jengah, akhirnya menarik tangan Enkyung dengan mudah, kemudian membopong badan mungil Eunkyung dengan kedua tangannya. Eunkyung meronta, menolak dengan perlakuan Baekhyun. Namun dia tidak berdaya dengan tubuh kecilnya.
            Berbagai kalimat dan perasaan berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya selama perjalanan kembali ke rumahnya. Begitu juga dengan Baekhyun yang terus saja berkonsentrasi menyetir. Hening menyelimuti, hanya suara deru mesin dan suara lirih radio yang dinyalakan Baekhyun sejak tadi. Radio yang memutar sebuah lagu, lagu kenangan Eunkyung saat kecil. Saat dia masih bersama dengan orang tuanya,saat kebebasan masih bersamanya. Saat dia belum mengenal semua permasalahan dunia, saat dirasanya dunia masih polos, tidak sekejam yang dia rasakan saat ini.
---
            Malam itu kamar Baekhyun kedatangan barang-barangnya yang diambil dari rumahnya. Pakaian, jaket, sepatu, bahkan ponselnya yang tertinggal tadi pun diambil oleh ahjussi dan ahjumma suruhan Baekhyun. Semua dipak dengan rapi di kardus-kardus besar. Dengan kepala berbalut handuk, Eunkyung keluar dari kamar mandi dikejutkan dengan kardus-kardus bertumpuk di depannya. Dengan langkah gontai dia mendekati kardus-kardus itu dan membukanya satu per satu. Baju, foto, semuanya ada di situ. Eunkyung hanya mengambil ponselnya, dan keluar balkon untuk menghubungi Jongin.
            “Omo..omo..apa-apaan ini? Kenapa ada banyak kardus di sini?”, teriak Baekhyun kaget dengan pemandangan kardus yang ada di hadapannya. Dia sepertinya hilang ingatan, bahwa yang menyuruh mengambil barang-barang Eunkyung adalah dirinya sendiri. Karena penasaran, akhirnya dia membongkar sebuah kardus di hadapannya. Diambilnya barang-barang dari kardus itu.
            Eunkyung yang mendengar keributan di dalam. Dia pun masuk ke dalam. Bersamaan dengan itu, dilihatnya Baekhyun dengan wajah kebingungan memegang gaun malamnya yang biasa dipakainya untuk tidur. Baekhyun dengan serius dan bingung mengamati baju itu, seperti dia baru pertama kali melihatnya. Eunkyung yang menyadari itu segera berlari menuju tempat Baekhyun membongkar kardus.
            “Ya! Kenapa kau bongkar barang-barangku? Kau tahu, itu melanggar hak pribadi!”, teriak Eunkyung sambil merebut gaun yang ada di tangan Baekhyun. Gaun itu kemudian disembunyikannya di balik punggungnya. Direbutnya lagi kardus ynag ada di depan Baekhyun. Baekhyun melihat tingkah Eunkyung itu semakin kebingungan.
            “Kau! Kau pergilah! Aku ingin menata barang-barangku sendiri!”, kata Eunkyung menahan malu. Baekhyun mengangkat satu alisnya, kemudian tersenyum kecil. Dia berbalik ke luar kamar, namun baru beberapa langkah, dia berbalik lagi.
            “Yakin kau tidak perlu bantuan?”, tanya Baekhyun sambil tersenyum. Entah senyum itu bermakna apa.
            “Tak perlu. Aku bisa sendiri.”, kata Eunkyun sambil menggeleng. Kedua tangannya dia sembunyikan di balik punggungnya.
            Baekhyun menahan tawa. Dia berbalik lagi melangkah ke luar kamarnya. Namun belum sempat dia melangkah, kepalanya menengok ke arah Eunkyung kembali. Eunkyung menjadi salah tingkah kembali.
            “Sebentar lagi makan malam. Abeoji dan Eomma ingin berbicara denganmu.”, kata Baekhyun. Dia akhirnya melangkah pergi ke luar kamar. Kali ini benar-benar pergi ke luar.
---
            “Apa kau senang tinggal di sini, Eunkyung?”, tanya abeoji sambil menyendokkan sup kepiting ke mulutnya, kemudian mengelap mulutnya.
            “Nde, abeoji.”, jawab Eunkyung malu-malu. Diliriknya Baekhyun yang duduk di sampingnya. Baekhyun nampak tenang, tanpa ekspresi menyendokkan sup kepiting sesendok demi sesendok ke mulutnya.
            “Barang-barangmu sudah kau atur di kamar? Sepertinya barang-barangmu sudah sangat lama, kau harus punya yang baru. Bagaimana kalau besok kita berbelanja?”, tawar eomma Baekhyun. Kini dia sudah nampak sehat. Walaupun dia masih harus selalu minum obat dan suplemen lainnya, eomma Baekhyun nampak lebih sehat.
            “Aniya, tidak apa-apa eomma. Barang-barangku masih bisa saya pakai.”, kata Eunkyung kikuk. Dia tidak tahu harus berbuat apa di hadapan abeoji dan eomma Baekhyun.
            “Gwenchana. Aku juga ingin merasakan bagaimana berbelanja dengan anak perempuan. Pasti asyik sekali.”, kata eomma Baekhyun memaksa.
            “Kau harus menemani eommamu, Eunkyung. Dia sudah sangat lama mendambakan anak perempuan agar bisa diajak berbelanja bersama.”, kata abeoji memaksa. Eunkyung mau tak mau hanya mengangguk.
            “Nah, begitu. Kau harus betah di sini.”, kata eomma tersenyum.
            “Kudengar kau juga berkuliah, Euknyung? Apa kampusmu sama dengan kampus Baekhyun?”, tanya abeoji dengan lembut.
            “Ani. Kampus kami berbeda.”, kata Eunkyung. Abeoji dan eomma Baekhyun mengangguk-angguk.
            “Lalu, kau ambil jurusan apa?”, tanya eomma.
            “Manajemen perusahaan.”, jawab Eunkyung singkat. Matanya melirik lagi ke arah Baekhyun. Tak tampak ekspresi apa pun yang berbeda dari wajah Baekhyun.
            “Wah, bagus. Nanti setelah kau lulus kau bisa membantuku mengelola perusahaan.”, kata abeoji manggut-manggut. “Jangan seperti Baekhyun, dia mengambil jurusan yang tidak sesuai dengan apa yang abeoji kerjakan.”, tambah abeoji.
            “Baekhyun ingin menjadi seorang arsitek, maka dari itu dia mengambil jurusan itu. Kau sudah lihat hasil kerjanya? Bagus dan rapi sekali.”, kata eomma bangga.
            Eunkyung mengangguk, diliriknya Baekhyun kembali. Wajahnya tetap tak menampakkan perubahan ekspresi apapun. Dengan tenang Eunkyun pun memakan seekor udang.
            “Bagaimana kalau kau pindah ke kampus ke kampus Baekhyun?”, tanya abeoji serius. Eunkyung tersentak, hingga udang yang tadi dimakannya tersangkut di tenggorokannya. Cepat-cepat diminumnya air yang ada di hadapannya.
            “Iya, kau pindah saja. Lebih baik begitu. Agar kau tiap hari bersama Baekhyun.”, kata eomma.
            “Eomma.”, kata Baekhyun singkat. Wajahnya nampak tidak suka. Sementara itu Eunkyung berpikir, di rumah dia harus selalu bertemu Baekhyun. Jika dia pindah, itu berarti dia juga harus bertemu Baekhyun setiap hari. Memikirkan itu saja sudah membuat Eunkyung mual. Tapi abeoji dan eomma Baekhyun baik sekali.
            “Bagaimana Eunkyung?, tanya abeoji pada Eunkyung.

(To be Continue…)

Hwaa..akhirnya chapter 2 datang..mian..mian..lama banget ya..lagi ngumpulin inspirasi inih..dan memang kemarin-kemarin masih dalam masa hiatus..makasih semua readers yang setia menunggu..chapter 3 akan segera dataaang :D

1 komentar:

  1. Chapter 5 kapan di publish? Udah banyak yg nunggu, tolong publish yaaa makasih

    BalasHapus