| Author : Shin Jaejae | Tittle : Time
Effect (Chapter 2) |
| Genre : Romance, Marriage Life,
Drama | Rate : PG-15| Length : Chaptered | Main Cast : Baekhyun EXO K, Shin
Eunkyung (You) |
|Other cast : EXO K member’s, and find
out more|
Summary : Baekhyun,
namja dingin dan acuh tak acuh terlahir dari keluarga kaya, bertemu dengan
seorang yeoja mungil bernama Eunkyung yang sangat mandiri. Jangan harap pertemuan yang romantis atau bahagia, namun pertemuan
konyol yang mengantarkan mereka ke kehidupan baru yang penuh lika-liku.
Dapatkah Eunkyung mengubah sifat Baekhyun yang egois dan dingin?
Yeaaay‼Akhirnya Chapter 2 dataaang‼! Nggak usah basa-basi langsung
baca aja deh :D
Happy reading…
----TIME EFFECT Chapter 2-----
“Aku—bersedia.”,
kata Eunkyung dengan nada berat. Baekhyun tersenyum kecil. Semua hadirin
bertepuk tangan. Tidak begitu riuh terdengar, karena hanya beberapa saja yang
datang.
“Baiklah, kalian sah sebagai pasangan suami istri.”, kata
penghulu pada akhirnya.
Acara pun berlanjut dengan penyematan cincin. Sehun sang
pembawa cincin pun ke depan menyerahkan cincin kepada pasangan itu. Baekhyun
mengambil cincin, lalu disematkan ke jari manis Eunkyung. Semua hadirin bertepuk
tangan lagi.
“Cium! Cium! Cium!”, terdengar seorang tamu berteriak,
yang membuat tamu-tamu lain terprovokasi dan ikut-ikutan menyahut.
“Cium! Cium! Cium!”, teriak tamu serempak sambil
tertawa-tawa.
Baekhyun yang masih tersenyum-senyum hanya mengangguk
menanggapi permintaan para tamu. Eunkyung yang melihat ekspresi Baekhyun
kemudian berbisik, “Ya! Jangan macam-macam! Yang satu itu tidak ada dalam
perjanjian!”
Baekhyun menoleh kepada Eunkyung, kemudian tersenyum
kecil. Dia pun berbisik, “Kau lihat orang tuaku mengawasi kita berdua. Kalau
aku tidak melaksanakan -apa yang harusnya pengantin lakukan- nanti mereka akan curiga dengan pernikahan
ini!”
Eunkyung menoleh ke arah para tamu. Tampak kedua orang
tua Baekhyun memandang ke arahnya. Eunkyung hanya mengangguk dan tersenyum
kikuk.
“Cium! Cium! Cium!”. Teriakan tamu semakin keras.
Baekhyun mulai mendekatkan kepalanya ke arah Eunkyung.
Teriakan tamu menjadi semakin riuh. Dengan hati-hati dia berbisik, “Kau menurut
saja, sudah terlanjur basah!”
“Shi—“, ucapan
Eunkyung terputus, karena bibir Baekhyun sudah mendarat di bibirnya. Mata
Eunkyung membelalak. Tiba-tiba saja darahnya serasa berdesir kencang.
---
“Kau cepat berganti pakaian. Antarkan istrimu ke rumahnya
untuk mengambil barang-barang yang diperlukannya!”, kata aboeji Baekhyun saat melihat Baekhyun sedang duduk di sofa tamu.
“Tapi—abeoji,
aku masih lelah, acara pernikahan baru saja selesai, dan aku harus mengantarnya
ke rumahnya?”, jawab Baekhyun dengan wajah malas. Dia masih mengenakan kemeja
putih dengan dasi kupu-kupu yang melingkar di kerahnya. Sepatunya pun belum
sempat dia lepaskan.
“Kau menolak perintah abeojimu?
Hah?”, ucap abeoji Baekhyun dengan
nada meninggi. Sepertinya dia tersinggung dengan ucapan Baekhyun. Akhir-akhir
ini memang abeoji Baekhyun menjadi mudah naik darah, begitu pula dengan
Baekhyun. Baekhyun sudah ingin menjawab perkataan abeojinya itu. Wajahnya merah menahan emosi.
“Gwenchana—ahjusshi—umm…”,
kata Eunkyung berusaha menengahi percakapan antara anak dan ayah itu. Eunkyung
bangkit berdiri, dia tidak ingin mendengar perselisihan antara ayah dan anak,
apalagi itu yang menyangkut tentang dirinya.
“Abeoji.
Panggil aku abeoji.”, jawab abeoji Baekhyun tanpa memandang ke arah
Eunkyung. Kedua matanya membelelak, lalu mengerjap-ngerjap. Eunkyung terkejut
dengan apa yang dikatakan abeoji
Baekhyun. Kata-katanya yang tadi akan dikatakan pun seakan lenyap. Dia berusaha
mencerna apa yang dikatakan abeoji
Baekhyun tadi. Baekhyun pun merasa terkejut, sehingga dia tidak mengatakan
apapun pada abeojinya. Sama
terkejutnya dengan Eunkyung, dia tidak menyangka abeojinya mengatakan hal itu, mengingat orang tua Baekhyun yang
sebenarnya sangat tidak suka dengan pernikahan Baekhyun ini. Abeoji Baekhyun menyadari suasana
canggung di ruangan itu, kemudian berdehem kecil.
“Baiklah, kau istirahatlah dulu, baru nanti kau antarkan
istrimu mengemasi barang-barangnya.”, kata abeoji
Baekhyun dengan sangat tenang. Dia pun berlalu dari tempat itu.
---
“Ya! Sampai
kapan kau akan bersantai di situ terus? Ayo pindah!”, ajak Baekhyun dengan
malas. Baekhyun segera beringsut dan berjalan menjauhi Eunkyung. Eunkyung yang
duduk di sofa hanya memandang Baekhyun dengan malas, kemudian beranjak dari
kursinya dan mengikuti Baekhyun. Baekhyun memimpin di depan, Eunkyung mengekor
di belakangnya sambil berjalan terseok-seok. Kakinya sangat pegal karena
seharian berdiri dengan high heels. Akhirnya mereka pun sampai di ruangan kamar
Baekhyun, Baekhyun pun berhenti. Baekhyun mulai membuka pintu kamarnya dan
menyuruh Eunkyung masuk.
Kamar Baekhyun sangat luas dengan nuansa biru laut.
Ranjangnya sangat besar, mungkin cukup
untuk dimuati 3 orang. Ranjang itu menghadap ke jendela kaca yang cukup besar.
Di dekat jendela terletak sebuah sofa warna merah maroon yang juga sangat
besar. Berbagai koleksi miniatur tertata rapi di sebuah lemari kaca besar di
sudut ruangan. Tak lupa dua buah lemari besar tempat baju-bajunya disimpan
berada di sebelah lemari kaca itu.
“Aku tidur di situ.”, kata Baekhyun sambil menunjuk
ranjang besarnya. “Kau tidur di sana.”, tambah Baekhyun lagi sambil menunjuk
sofa besar berwarna merah maroon di dekat jendela. Sofa itu sangat besar,
bahkan hampir seukuran tempat tidur. Eunkyung mengrenyitkan dahinya.
“Mwo?? Kau
suruh aku tidur di sana? Shireo!”,
tolak Eunkyung mentah-mentah. Baru kali ini dia bertemu dengan namja yang tidak memiliki manner dengan seorang yeoja.
“Aku tidak suka berbagi tempat tidur!”, jawab Baekhyun
cepat. Dia tak mau mengalah.
“Memangnya siapa juga yang mau berbagi tempat tidur
denganmu? Sampai kapanpun aku tak akan mau!”, jawab Eunkyung bersungut-sungut.
“Memangnya rumah sebesar iini tidak ada kamar yang lain?”, tanya Eunkyung
menuntut. Pandangannya memutar ke sekeliling kamar. Dia benar-benar tampak
jengkel dengan sikap Baekhyun. Kedua tangannya bahkan kini sudah berkacak di
pinggangnya.
“Abeoji yang
menyuruh kita harus sekamar.”, jawab Baekhyun santai. Wajahnya tetap tidak
menunjukkan ekspresi apapun.
“Kalau begitu aku pulang saja ke rumahku sendiri.”, jawab
Eunkyung tak mau kalah. Dia benar-benar tidak setuju dengan keputusan itu. Dia
sudah akan berniat meninggalkan ruangan itu.
“Tidak bisa. Kau harus tetap di sini, sampai saatnya
nanti waktu yang tepat kita berpisah. Sebelum semua itu kau harus menuruti
kemauan orang tuaku.”, jawab Baekhyun ringan, kemudian menjatuhkan badannya ke
ranjang. “Ingat perjanjian kita.”, kata Beakhyun sambil meraih ponselnya dan
mulai mengutak-atiknya. Langkah Eunkyung seketika terhenti mendengar perkataan
Baekhyun.
Mendengar itu Eunkyung hanya menghela nafas panjang.
Perlahan dia beranjak ke arah sofa. Menjatuhkan badannya begitu saja, seperti
dia sudah tak mampu lagi menopang berat badannya. Dia benar-benar harus menahan
emosinya. Begitu banyak perubahan yang terjadi pada dirinya beberapa hari ini.
Semua itu terjadi begitu saja, bahkan tanpa pernah ia sadari. Dan hari ini,
merupakan hari yang sangat melelahkan baginya, bukan hanya fisik, namun juga
mentalnya. Namun ia sadar, ini baru permulaan. Masih banyak hal berat yang akan
muncul di kehidupannya setelah ini.
Eunkyung hanya mencoba membaringkan badannya, matanya
terpejam. Dia hanya berharap semoga ini semua cepat berlalu. Dia bahkan heran,
mengapa dia bisa sampai masuk dan mengalami masalah seperti ini. Ingin rasanya
dia kembali ke waktu saat dia belum bertemu Baekhyun. Dan saat dia membayangkan
hal itu, tiba-tiba dirasakannya sebuah bantal menimpa kepalanya. Matanya
seketika terbuka, badannya terbangun. Pandangannya teralih pada Baekhyun yang
berbaring sambil menyilangkan kakinya. Belum sempat dia mengatakan sesuatu,
sebuah selimut sudah menimpa badannya.
“Pakai itu, agar tidak kedinginan.”
Eunkyung tidak bersuara sama sekali. Emosinya semakin
memuncak, namun dia memilih diam dan kembali berbaring. Dia mencoba untuk
menenangkan dirinya. Namun suara yang terakhir dia dengar itu benar-benar
mengusik hatinya. Mengusik hatinya, seperti menorehkan sayatan kecil di hatinya
itu. Perih memang.
---
Biasanya Eunkyung akan terbangun dengan suara-suara
burung di pagi hari. Namun pagi ini berbeda, tidak ada satu pun suara burung
yang terdengar. Mungkin saja itu karena rumah Baekhyun yang terlalu besar, atau
memang Eunkyung yang terlalu lelah sehingga tak ada satu pun suara yang bisa
didengarnya.
Namun tiba-tiba sebuah goncangan kecil mulai
membangunkannya. Ingin Eunkyung mengabaikannya, namun semakin lama goncangan itu
semakin kuat, disusul dengan suara-suara yang memekakkan telinganya.
“Ya! Kau mau
tidur sampai jam berapa? Ini sudah siang! Aku harus segera ke kampus hari
ini!”, suara itu terus-terusan mengganggu telinganya. Suara yang sangat
dikenalnya, ya, suara Baekhyun.
“Kau juga harus ke kampus hari ini! Izinmu untuk tidak
masuk kuliah sudah habis! Hari ini kau harus ke kampus! Ppali ireonaa‼”, teriak Baekhyun lebih keras. Eunkyung perlahan
mulai bangun, matanya dikejap-kejapkan.
“Cepat bangun dan mandi! Aku sudah hampir terlambat!”,
teriak Baekhyun sambil memberikan sebuah handuk. Baekhyun pun bergegas ke
mejanya untuk membereskan tasnya.
Eunkyung bangkit. Perlahan-lahan dia berdiri dan berjalan
ke kamar mandi. Matanya pun melirik ke sebuah jam dinding yang tergantung di
dinding kamar. Pukul 8 pagi. Biasanya pada waktu seperti itu dia mendengar
nyanyian merdu. Tapi bukannya nyanyian burung merdu yang ia dengar, namun
nyanyian terberisik di dunia yang baru kali ini ia dengar.
---
“Ppaliwaa! Cepat
ambil helm itu, aku sudah sangat terlambat!”, kata Baekhyun. Dia sudah
mengenakan kemeja warna biru dan jeans hitam. Sebuah tas ransel pun menghiasi
punggungnya. Dia mulai melangkah keluar kamar.
“Arra! Arra!
Kenapa aku harus membawa helm?”, tanya Eunkyung bergegas membereskan tasnya
serampangan.
“Sudah, bawa saja!! Cepat, kalau kau tidak mengikutiku,
kau kutinggal!”, jawab Baekhyun. Eunkyung semakin tergesa-gesa. Baekhyun sudah
menutup pintu kamar. Eunkyung semakin panik, langsung saja dia bergegas meraih
tas yang belum sempat benar-benar dia rapikan, mengambil helm lalu berlari
menyusul Baekhyun. Sampai di bawah, Baekhyun sudah menyalakan motor besarnya.
Saking tergesanya, Eunkyung bahkan tidak tahu sepatu apa
yang dia pakai hari ini. Dia hanya cepat-cepat menuju motor yang sekarang
ditumpangi Baekhyun. Dengan segera dia duduk di jok belakang. Belum selesai
Eunkyung mengenakan helm, Baekhyun sudah melajukan motornya. Eunkyung yang
kaget hanya reflek berpegangan pada pundak Baekhyun. Baru 10 menit Baekhyun
mengendarai motornya, Eunkyung menepuk punggung Baekhyun dengan keras.
“Ya! Ya! Tidak
bisakah kau mengendarai lebih lambat sedikit? Sangat berbahaya, kau tahu?!”,
teriak Eunkyung. Baekhyun berpura-pura tidak mendengar, malah semakin menambah
kecepatan motornya. Eunkyung semakin ketakutan, pukulan di punggung Baekhyun
semakin keras.
“Ya! Kalau kau
tidak mau melambat, lebih baik turunkan aku di sini!” teriak Eunkyung.
Mendengar itu, Baekhyun pun melambatkan motornya perlahan, namun motornya
menepi. Motornya pun kemudian benar-benar berhenti.
“As you wish.
Sekarang turun dari motor ini. Kau berisik sekali.”, kata Baekhyun dingin.
Eunkyung tersentak dengan kata-kata Baekhyun, dengan segera ia turun dari
motor, mencopot helmnya kemudian memberikannya dengan kasar pada Baekhyun.
“Geure! Pergi
saja sendiri. Aku bisa ke kampus dengan usahau sendiri.”, jawab Eunkyung geram,
dia masih menjaga harga dirinya.
“Eo.”, jawab
Baekhyun singkat, meletakkan helm Euknyung, kemudian segera melajukan motornya.
Dia meninggalkan Eunkyung sendirian di pinggir jalan. Perjalanan menuju kampus
Eunkyung masih setengah jalan. Sedangkan rumah Baekhyun juga sudah terlalu
jauh. Eunkyung hanya bisa menghembuskan nafas panjang, menghadapi laki-laki
seperti Baekhyun.
Eunkyung memeriksa tasnya, mencari uang untuknya naik
bus. Betapa sialnya, dia tidak membawa dompetnya. Dia tidak membawa uang sama
sekali. Dia pun mencari ponselnya, mencoba menghubungi temannya. Tetapi karena
tadi pagi dia sangat tergesa-gesa, bahkan ponselnya pun ditinggalkannya di
rumah Baekhyun. Dan baru disadarinya, dia memakai sepatu dengan hak lumayan
tinggi. Dia benar-benar terburu-buru, sehingga dia lupa membawa barang-barang
yang sangat penting, dan bahkan sepatu yang dipakainya pun salah. Ingin rasanya
saat itu Eunkyung menangis, mengumpat, mencaci perbuatan Baekhyun. Karena
Baekhyun, semua kesialan itu menimpa dirinya. Belum pernah dia merasa sesial
ini. Tapi karena mencaci Baekhyun saat itu pun adalah hal yang sia-sia,
akhirnya dia memutuskan untuk mulai berjalan. Berjalan entah ke mana dia juga
tidak tahu. Tak peduli apa yang nanti akan terjadi dengan kakinya.
---
“Omona, agashi. Apa yang terjadi? Kenapa agashi berjalan kaki?”, tanya ahjumma yang bekerja di rumah Baekhyun
menyambut Eunkyung yang datang sempoyongan karena sakit yang luar biasa pada
kakinya setelah berjalan sejauh 6 km. Eunkyung hanya meringis, tak berkata
apa-apa. Ajuhmma pun segera
menuntunnya menuju ruang tamu dan mendudukkan Eunkyung.
Eunkyung melepas sepatu dan tas yang melekat di badannya.
Wajahnya memerah karena kelelahan. Keringatnya bercucuran. Nafasnya
terengah-engah. Belum lagi tumitnya yang terasa berdenyut-denyut tak karuan.
Tumit dan telapak kakinya pun berwarna kemerahan karena sepatu yang dipakainya.
Terlihat memar di beberapa tempat.
“Agashi duduk
dulu saja, akan saya ambilkan air minum. Sebentar.”, kata ahjumma itu tergesa-gesa menuju dapur. Eunkyung hanya mengangguk. Dia
terduduk lemas tanpa berkata apapun. Tak lama kemudian, ahjumma itu datang sambil membawa sebuah baskom dan handuk. Datang
pula ahjumma yang lain membawa segelas air minum. Diberikannya air minum itu
pada Eunkyung yang sangat kehausan. Segelas air dari ahjumma tadi langsung diteguk Eunkyung habis. Ahjumma
itu pun cepat-cepat berjongkok di depan Eunkyung dan membasuh kaki Eunkyung
yang kemerahan.
“Ani ahjumma.
Biar nanti aku yang basuh kakiku sendiri.”, kata Eunkyung merasa tidak enak
dengan perlakuan ahjumma itu.
Eunkyung akhirnya bisa mengeluarkan suara setelah tadi dia merasa separuh
nyawanya serasa menghilang.
“Ani, gwenchana,
agashi. Agashi terlihat kelelahan
sekali. Memangnya apa yang terjadi, agasshi?”,
tanya ahjumma itu sambil terus
membasuh kaki Eunkyung dengan air es yang dibawanya tadi. Kaki Eunkyung
seketika terasa segar. Eunkyung hanya sesekali mendesis kecil saat air itu
mengenai kakinya yang agak memar.
“Ceritanya cukup panjang, Bi.”, kata Eunkyung. Wajahnya
pun berubah kesal mengingat kejadian yang menimpanya tadi pagi. Ahjumma itu hanya mengangguk. Eunkyung
pun menceritakan apa yang dialaminya sejak tadi pagi. Ahjumma itu mendengarkan sambil tersenyum dan sesekali mengangguk.
“Baekhyun orang yang sangat menyebalkan! Iya, kan Bi?”,
tanya Eunkyung dengan kesal. Ahjumma itu
hanya tersenyum, kemudian mengelap kaki Eunkyung dengan handuk lembut. Dilapya
kaki Eunkyung dengan hati-hati dan telaten.
“Tuan muda orang yang sangat baik, Nona. Mungkin dia
memang seperti itu, tapi sebenarnya dia orang yang perhatian.”, kata ahjumma itu dengan bijak. Dia pun segera
beringsut pergi menyingkirkan baskom dan handuk yang digunakannya tadi.
Kemudian dia berjalan ke dapur meninggalkan Eunkyung yang penuh tanda tanya.
Eunkyung malah menjadi semakin bingung dengan apa yang dikatakan Bibi tadi,
kemudian hanya melihat kedua kakinya yang sedikit merasa lebih baik. Warna
kemerahan pun berkurang. Hanya mungkin masih bersisa perih memar akibat sepatu
yang dipakainya tadi. Bibi itu kemudian datang lagi dengan membawa sepasang
sandal bulu yang terlihat sangat empuk.
“Nona pakai ini saja. Sepertinya bisa mengurangi rasa
sakit saat berjalan.”, kata Bibi itu ramah. Eunkyung menerima sepasang sandal
bulu itu dan mulai memakainya. Kakinya menjadi terasa sangat nyaman karena
menyentuh bulu yang sangat lembut.
“Gamsahamnida”,
kata Eunkyung. Bibi itu hanya tersenyum. Bibi itu pun pergi berlalu.
***
Baekhyun melangkah menuju rumahnya dengan headset yang
terpasang di telinganya. Tanpa berkata apapun dia segera menuju ke kamarnya.
Tas ransel di pundaknya ditanggalkannya. Dia melihat sekeliling kamarnya. Ada
sesuatu yang janggal. Tanpa berpikir dua kali, dia kembali turun dan menuju ke
ruang perpustakaan. Dia menebar pandangannya ke sekeliling perpustakaan, tetap
tidak ditemukannya. Dia pun mulai melangkah ke ruang makan, tanpa sengaja
berpapasan dengan salah satu ahjumma.
“Tuan muda sedang mencari apa?”, tanya ahjumma itu setelah membungkukkan
badannya di hadapan Baekhyun.
“Umm, apa Bibi melihat di mana Eunkyung? Aku tidak
melihatnya di manapun.”, jawab Baekhyun dengan wajah serius. “Apa dia belum
pulang?”, tanya Baekhyun.
“Nona muda sudah pulang sejak tadi pagi Tuan muda.
Kasihan sekali nona tadi, berjalan pulang sampai kakinya lecet.”, jawab Bibi
itu sungguh-sungguh. Baekhyun menaikkan sebelah alisnya, heran. Namun dia
segera mengubah ekspresinya menjadi senatural mungkin.
“Lalu sekarang dia di mana, Bi?”, tanya Baekhyun lagi.
Pandangannya mulai menebar ke sekeliling. Di belakang dapur ada halaman
belakang rumah Baekhyun yang penuh dengan tanaman hias dan sebuah air mancur.
Namun tak ditangkapnya sosok Eunkyung di taman itu.
“Maaf Tuan muda, saya juga tidak tahu di mana nona muda
sekarang. Karena yang saya tahu tadi nona muda hanya pergi ke ruangan, um,
kamar Tuan muda.”, jawab Bibi itu, membungkukkan badannya lagi.
“Ne, gomawo Bibi.”, jawab Baekhyun, kemudian
segera berbalik arah menuju ke luar rumah. Diliriknya jam tangan yang
dikenakannya. Pukul 3 sore. Tanpa berbicara dia segera menuju mobilnya di depan
rumah. Mobilnya pun segera melaju kencang.
***
“Noona. Kau di
dalam?”, tanya seseorang sambil mengetuk pintu rumah seeorang. Sebentar
kemudian seseorang dengan rambut coklat panjang membukakan pintu sambil
tersenyum lebar. Kakinya penuh dengan warna obat merah. Lelaki yang mengetuk
pintu itu tersenyum, namun memperhatikan kaki wanita itu.
“Lama sekali tak bertemu, Jongin. Masuklah.”, kata wanita
itu. Senyumnya tak lepas dari wajahnya. Lelaki itu mengangguk, kemudian mulai
mengikuti langkah wanita itu. Diperhatikannya wanita itu baik-baik. Caranya
berjalan tidak seperti biasa, sedikit diseret langkahnya karena kakinya yang
terlihat sakit. Tak berapa lama kemudian mereka tiba di sebuah ruang tamu
kecil, yang hanya terdiri dari sebuah meja kecil dan beberapa alas duduk.
Dipersilakannya laki-laki itu duduk, kemudian wanita itu beranjak mengambil air
minum untuk laki-laki itu.
Rumah wanita itu tidak besar, bahkan mungkin kecil. Ruang
tamu bercampur jadi satu dengan dapur dan ruang makan. Tempat tidurnya pun
mungkin juga bisa dibilang menjadi satu, jika saja tidak terhalang oleh sebuah
papan kayu besar dan tinggi. Rumah wanita itu memang kecil, karena memang hanya
rooftop sewaan.
“Kau mau minum apa, Jongin? Tapi maaf, aku hanya punya
teh dan air putih saja.”, tanya wanita itu ramah.
“Gwenchana. Tak
perlu repot-repot Noona. Air putih
saja.”, jawab laki-laki itu tersenyum. Wanita itu mengangguk, kemudian dituangkannya
segelas air putih dingin dan dibawanya ke hadapan laki-laki itu. Wanita itu pun
segera duduk di hadapan laki-laki itu.
“Ke mana saja kau selama ini Noona? Aku mencarimu seminggu ini, tapi kau tidak pernah ada di
rumah. Aku sangat khawatir, kukira kau sudah pindah.’, tanya Jongin dengan
wajah serius, tampak wajahnya penuh dengan banyak pertanyaan. Wanita itu
menggeleng sambil tersenyum kaku. Dia mencoba mengatur ekspresi wajahnya agar
tak tampak kaget.
“Aku tidak pindah, Jongin. Aku hanya berlibur sebentar. Mianhae, aku tak memberitahumu.”, jawab
wanita itu serius. Jongin masih belum puas dengan jawaban wanita itu.
“Berlibur ke mana? Kenapa sampai ponselmu juga tak dapat
kuhubungi?”, tanya Jongin lagi dengan wajah penasaran. Dilihatnya wanita itu,
tak ada ekspresi yang memberitahunya bahwa wanita itu berbohong. Kemudian
dilihatnya tangan wanita itu. sebuah cincin melingkar di jari manisnya.
“Aku berlibur ke Jepang. Maka dari itu kau tidak dapat
menghubungiku.”, jawab wanita itu dengan nada datar. “Bagaimana keadaan cafe?
Maaf aku tak bisa bekerja beberapa hari ini.”, tanay wanita itu mengalihkan
pembicaraan.
“Memang agak kewalahan tanpa Noona. Namun Minseok dan Jongdae hyung ikut turun tangan, jadi semua lancar.”, jawab Jongin datar.
“Tapi kapan kau akan bekerja lagi? Hari ini kau sudah pulang, kan?”, tanya
Jongin penasaran.
“Aku jadi merasa bersalah. Meninggalkan pekerjaan tanpa
setahu manajer. Bagaimana nanti kalau Minseon oppa marah?”, tanya wanita itu lagi. Jongin hanya meneguk air putih
di hadapannya. Pundaknya diangkatnya ke atas, tanda bahwa dia tak mengerti.
Wanita itu menghela nafas panjang.
“Sepertinya aku harus segera menelepon Oppa.”, kata wanita itu asal, sambil
mengetik di ponselnya. Jongin hanya melihat apapun yang dilakukan wanita itu.
Belum usai wanita itu mengetik di ponselnya, tiba-tiba
terdengar suara pintu rumahnya diketuk perlahan oleh seseorang. Wanita itu
segera menghentikan kegiatannya, begitu pula Jongin. Kini kedua mata mereka
terarah ke arah pintu.
“Hwaa. Mungkin itu Minseok hyung. Kebetulan sekali.”, celetuk Jongin sambil menyengir.
“Mungkin saja. Coba ku buka pintunya.”, jawab wanita itu
sambil beranjak dari duduknya. Dia pun berjalan ke arah pintu. Dibuka pintunya
perlahan. Saat pintu terbuka, betapa kaget dia melihat sosok di hadapannya itu
“Baek…hyun…kau..”, kata wanita itu terbata-bata karena
kagetnya.
“Hm, benar dugaanku. Kau di sini ternyata Shin
Eunkyung.”, kata Baekhyun tanpa melepas kacamata hitam yang dipakainya. Tanpa
basa-basi, dia pun menarik lengan Eunkyung. Eunkyung menepis tangan Baekhyun.
Kepala Baekhyun menoleh menatap Eunkyung. Dilepasnya kacamata hitam yang
dipakainya.
“Mwoyaa?!”,
kata Baekhyun ketus. Dipandangnya Eunkyung dengan pandangan tak percaya.
“Shireo!”,
jawab Eunkyung, setengah berteriak. Jongin yang sejak tadi hanya memandang
peristiwa itu kemudian bangkit berdiri mendekati Eunkyung.
“Noona, ada apa
ini? Siapa orang ini?”, tanya Jongin sambil memperhatikan lelaki di hadapannya
itu dengan pandangan tidak suka. Baekhyun yang merasa diperhatikan mulai
bersuara.
“Seharusnya aku yang tanya, kau ini siapa?”, Baekhyun
balik bertanya, dengan nada yang tidak kalah tinggi. Jongin, laki-laki yang ada
di hadapannya ini memang terlihat lebih tinggi dan lebih besar dari Baekhyun,
namun itu semua tidak membuat Baekhyun gentar. Jongin yang mendengar kata-kata
Baekhyun hanya melengos.
“Kenapa kau datang tiba-tiba menarik lengan noona? Kau tidak berhak melakukan itu!”,
kata Jongin berteriak. Baekhyun berdecak.
“Yak! Eunkyung!
Siapa sebenarnya bocah ini?”, tanya Baekhyun memandang Eunkyung. Eunkyung
sedari tadi diam mematung memperhatikan adegan di depannya itu.
“Kau! Tidak bisakah kau berkata lebih sopan kepada
seorang yeoja? Dan—aku bukanlah
seorang bocah!”, kata Jongin geram. Emosinya semakin memuncak. Tangan kanannya
sudah mengepal erat, bersiap untuk memukul wajah Baekhyun, yang menurutnya
sangat memuakkan.
Tangan Jongin sudah akan melayang menuju wajah Baekhyun,
namun seketika terhenti karena tangan Eunkyung yang menahannya. Jongin
memalingkan wajahnya ke arah Eunkyung. Wajah Eunkyung memerah, menahan emosi.
Tangan dan badan Eunkyung terlihat bergetar. Mungkin emosinya sudah sangat
memuncak.
“Kau, kau pergilah dulu Jongin. Tolong katakan pada oppa aku tidak bisa ke cafe hari ini.”,
kata Eunkyung dengan suara bergetar. Kemarahan Jongin memudar, kepalan
tangannya sudah terbuka. Namun kini perhatiannya teralih pada Eunkyung.
“Tapi noona..noona..”,
kata Jongin khawatir. Eunkyung hanya mengangguk, dengan masih mencoba untuk
tersenyum.
“Kau pergilah dulu. Nanti aku hubungi.”, kata Eunkyung
dengan nada lembut. Jongin masih tak beranjak dari posisinya. Dia masih
memandang Eunkyung dengan sangat teliti. Baekhyun yang melihat Jongin menjadi
risih, kemudian dia berdecak bosan.
“Kau tidak dengar apa yang dikatakan Eunkyung? Cepat
pergi!”, kata Baekhyun sambil memakai lagi kacamata hitamnya. Jongin hanya
mendengus kesal, kemudian segera melangkah pergi. Didekatinya Baekhyun dengan
pandangan benci.
“Aku pergi bukan karena kau yang suruh! Ini karena noona yang memintaku! Ingat, itu!”, kata
Jongin geram. Baekhyun hanya tertawa kecil. Jongin mendengus.
“Aku tunggu kau menelepon.”, kata Jongin, kemudian segera
pergi beranjak dari rumah Eunkyung. Eunkyung melambaikan tangan. Setelah
punggung Jongin tak terlihat, baru dia fokus pada Baekhyun. Ditatapnya Baekhyun
dengan pandangan sinis.
“Siapa bocah itu? Kenapa kau memperbolehkannya masuk ke
rumahmu?”, tanya Baekhyun.
“Bukan urusanmu. Cepat, katakan maksudmu, mau apa kau ke
sini?”, tanya Eunkyung ketus.
“Ayo cepat kita pulang. Abeoji dan eomma sebentar
lagi akan pulang. Aku tidak mau mereka melihat kau tidak ada di rumah.”, kata
Baekhyun datar. Eunkyung memandang Baekhyun dengan pandangan heran.
“Shireo. Kau
pulang saja sendiri.”, jawab Eunkyung, dia mencoba menutup kembali pintu
rumahnya. Namun Baekhyun menahan pintu itu.
“Aku tidak mau pulang tanpa kau. Ayo cepat kita beresi
barangmu, lalu kita pulang.”, kata Baekhyun lagi. Eunkyung semakin emosi
mendengar perkataan Baekhyun.
“Apakah begini caramu memperlakukan orang? Kau bahkan
tidak punya sopan sama sekali!”, kata Eunkyung kesal.
“Kau tidak perlu mengajariku cara memperlakukan orang.
Kalau kau tidak mau memberesi barang-barangmu, baiklah. Biar besok para ahjussi yang membereskan rumahmu ini.”,
kata Baekhyun.
“Shireo. Kau kembali saja sendiri!”,
tolak Eunkyung. Baekhyun yang merasa jengah hanya menarik napas panjang. Tak
disangkanya Eunkyung adalah seorang wanita yang keras kepala. Dia mendongakkan
kepalanya, memandang ke langit. Telunjuk kanannya memperbaiki letak kacamata
hitamnya. Secara tak sengaja, pandangan matanya tertuju pada kaki Eunkyung yang
berlumuran obat merah.
“Kenapa
dengan kakimu?”, tanya Baekhyun penasaran. Eunkyung mendongak, dia malah
menjadi semakin emosi.
“Kau
habis dari mana? Kenapa kakimu bisa seperti itu?”, tanya Baekhyun lagi, karena
pertanyaannya yang tadi tidak segera dijawab. Badannya agak dibungkukkan agar
dia bisa mengamati kaki Eunkyung lebih jelas.
Kesabaran
Eunkyung rasanya sudah habis. Dengan tenaga penuh, tangan kanannya menjitak
kepala Baekhyun dengan keras. Baekhyun terkejut bukan main.
“Yaaa‼ Apa yang kau lakukan? Kenapa kau
jitak kepalaku?”, teriak Baekhyun sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.
Kacamatanya dengan serta merta dia buka. Sebelah matanya dia pejamkan, mulutnya
meringis, tanda jitakan Eunkyung di kepala Baekhyun cukup keras.
“Itu
balasan yang kau terima karena membuat kakiku jadi seperti ini!”, jawab
Eunkyung bersungut-sungut.
“Mwoya?! Apa hubungannya kepalaku dengan
kakimu itu? Huh?”, jawab Baekhyun semakin tidak mengerti.
“Karena
kepalamu yang kosong itu tak pernah berpikir akibat dari kau menurunkanku di
tengah perjalanan tadi membuat kakiku jadi begini!”, jawab Eunkyung. Baekhyun
menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, tanda dia kebingungan.
“Gara-gara
kau menurunkanku di tengah perjalanan, aku harus berjalan kaki sampai ke rumah
sampai kakiku lecet seperti ini, kau tahu!”, jelas Eunkyung lagi.
“Wae? Kenapa kau menyalahkanku? Kau yang
memintaku untuk menurunkanmu, kan?”, jawab Baekhyun membela diri.
“Jelas
saja kau bersalah! Kau menurunkanku di tengah perjalanan, dan aku tidak membawa
dompet atau uang sepeserpun…”
“Dan
kau harus berjalan kaki sampai ke rumah, begitu, kan? Lalu apa hubungannya
kakimu yang sakit dengan kau pergi dari rumah?”, sela Baekhyun dengan wajah
tidak sabar. Eunkyung terdiam, sepertinya dia tersentak dengan apa yang baru
saja dikatakan Baekhyun.
“Kau…kau!
Ya!”, teriak Eunkyung yang kehabisan
kata-kata. Ingin rasanya dia mencaci Baekhyun saat itu.
“Sudahlah,
semua alasanmu itu tak ada hubungannya dengan pergi dari rumah! Sebagai ISTRI
yang baik, kau sekarang harus pulang. Kau beruntung, aku masih berbaik hati
padamu.”, kata Baekhyun, dengan memberikan penekanan pada kata ISTRI. Dia
memperbaiki letak kacamatanya lagi.
“Shireo! Kau pulang saja sendiri!”, kata
Eunkyung lagi, kini dia membalikkan badan untuk masuk ke dalam rumah. Baekhyun
semakin jengah, akhirnya menarik tangan Enkyung dengan mudah, kemudian
membopong badan mungil Eunkyung dengan kedua tangannya. Eunkyung meronta,
menolak dengan perlakuan Baekhyun. Namun dia tidak berdaya dengan tubuh
kecilnya.
Berbagai kalimat dan perasaan berkecamuk dalam hati dan
pikirannya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya selama
perjalanan kembali ke rumahnya. Begitu juga dengan Baekhyun yang terus saja
berkonsentrasi menyetir. Hening menyelimuti, hanya suara deru mesin dan suara
lirih radio yang dinyalakan Baekhyun sejak tadi. Radio yang memutar sebuah
lagu, lagu kenangan Eunkyung saat kecil. Saat dia masih bersama dengan orang
tuanya,saat kebebasan masih bersamanya. Saat dia belum mengenal semua
permasalahan dunia, saat dirasanya dunia masih polos, tidak sekejam yang dia
rasakan saat ini.
---
Malam itu kamar Baekhyun kedatangan barang-barangnya yang
diambil dari rumahnya. Pakaian, jaket, sepatu, bahkan ponselnya yang tertinggal
tadi pun diambil oleh ahjussi dan ahjumma suruhan Baekhyun. Semua dipak dengan
rapi di kardus-kardus besar. Dengan kepala berbalut handuk, Eunkyung keluar
dari kamar mandi dikejutkan dengan kardus-kardus bertumpuk di depannya. Dengan
langkah gontai dia mendekati kardus-kardus itu dan membukanya satu per satu.
Baju, foto, semuanya ada di situ. Eunkyung hanya mengambil ponselnya, dan
keluar balkon untuk menghubungi Jongin.
“Omo..omo..apa-apaan
ini? Kenapa ada banyak kardus di sini?”, teriak Baekhyun kaget dengan pemandangan
kardus yang ada di hadapannya. Dia sepertinya hilang ingatan, bahwa yang
menyuruh mengambil barang-barang Eunkyung adalah dirinya sendiri. Karena
penasaran, akhirnya dia membongkar sebuah kardus di hadapannya. Diambilnya
barang-barang dari kardus itu.
Eunkyung yang mendengar keributan di dalam. Dia pun masuk
ke dalam. Bersamaan dengan itu, dilihatnya Baekhyun dengan wajah kebingungan
memegang gaun malamnya yang biasa dipakainya untuk tidur. Baekhyun dengan
serius dan bingung mengamati baju itu, seperti dia baru pertama kali
melihatnya. Eunkyung yang menyadari itu segera berlari menuju tempat Baekhyun
membongkar kardus.
“Ya! Kenapa kau
bongkar barang-barangku? Kau tahu, itu melanggar hak pribadi!”, teriak Eunkyung
sambil merebut gaun yang ada di tangan Baekhyun. Gaun itu kemudian
disembunyikannya di balik punggungnya. Direbutnya lagi kardus ynag ada di depan
Baekhyun. Baekhyun melihat tingkah Eunkyung itu semakin kebingungan.
“Kau! Kau pergilah! Aku ingin menata barang-barangku
sendiri!”, kata Eunkyung menahan malu. Baekhyun mengangkat satu alisnya,
kemudian tersenyum kecil. Dia berbalik ke luar kamar, namun baru beberapa
langkah, dia berbalik lagi.
“Yakin kau tidak perlu bantuan?”, tanya Baekhyun sambil
tersenyum. Entah senyum itu bermakna apa.
“Tak perlu. Aku bisa sendiri.”, kata Eunkyun sambil
menggeleng. Kedua tangannya dia sembunyikan di balik punggungnya.
Baekhyun menahan tawa. Dia berbalik lagi melangkah ke
luar kamarnya. Namun belum sempat dia melangkah, kepalanya menengok ke arah
Eunkyung kembali. Eunkyung menjadi salah tingkah kembali.
“Sebentar lagi makan malam. Abeoji dan Eomma ingin
berbicara denganmu.”, kata Baekhyun. Dia akhirnya melangkah pergi ke luar
kamar. Kali ini benar-benar pergi ke luar.
---
“Apa kau senang tinggal di sini, Eunkyung?”, tanya abeoji sambil menyendokkan sup kepiting
ke mulutnya, kemudian mengelap mulutnya.
“Nde, abeoji.”,
jawab Eunkyung malu-malu. Diliriknya Baekhyun yang duduk di sampingnya.
Baekhyun nampak tenang, tanpa ekspresi menyendokkan sup kepiting sesendok demi
sesendok ke mulutnya.
“Barang-barangmu sudah kau atur di kamar? Sepertinya
barang-barangmu sudah sangat lama, kau harus punya yang baru. Bagaimana kalau
besok kita berbelanja?”, tawar eomma
Baekhyun. Kini dia sudah nampak sehat. Walaupun dia masih harus selalu minum
obat dan suplemen lainnya, eomma
Baekhyun nampak lebih sehat.
“Aniya, tidak
apa-apa eomma. Barang-barangku masih
bisa saya pakai.”, kata Eunkyung kikuk. Dia tidak tahu harus berbuat apa di
hadapan abeoji dan eomma Baekhyun.
“Gwenchana. Aku
juga ingin merasakan bagaimana berbelanja dengan anak perempuan. Pasti asyik
sekali.”, kata eomma Baekhyun
memaksa.
“Kau harus menemani eommamu,
Eunkyung. Dia sudah sangat lama mendambakan anak perempuan agar bisa diajak
berbelanja bersama.”, kata abeoji
memaksa. Eunkyung mau tak mau hanya mengangguk.
“Nah, begitu. Kau harus betah di sini.”, kata eomma tersenyum.
“Kudengar kau juga berkuliah, Euknyung? Apa kampusmu sama
dengan kampus Baekhyun?”, tanya abeoji
dengan lembut.
“Ani. Kampus
kami berbeda.”, kata Eunkyung. Abeoji dan eomma Baekhyun mengangguk-angguk.
“Lalu, kau ambil jurusan apa?”, tanya eomma.
“Manajemen perusahaan.”, jawab Eunkyung singkat. Matanya
melirik lagi ke arah Baekhyun. Tak tampak ekspresi apa pun yang berbeda dari
wajah Baekhyun.
“Wah, bagus. Nanti setelah kau lulus kau bisa membantuku
mengelola perusahaan.”, kata abeoji
manggut-manggut. “Jangan seperti Baekhyun, dia mengambil jurusan yang tidak
sesuai dengan apa yang abeoji kerjakan.”, tambah abeoji.
“Baekhyun ingin menjadi seorang arsitek, maka dari itu
dia mengambil jurusan itu. Kau sudah lihat hasil kerjanya? Bagus dan rapi
sekali.”, kata eomma bangga.
Eunkyung mengangguk, diliriknya Baekhyun kembali.
Wajahnya tetap tak menampakkan perubahan ekspresi apapun. Dengan tenang Eunkyun
pun memakan seekor udang.
“Bagaimana kalau kau pindah ke kampus ke kampus
Baekhyun?”, tanya abeoji serius.
Eunkyung tersentak, hingga udang yang tadi dimakannya tersangkut di
tenggorokannya. Cepat-cepat diminumnya air yang ada di hadapannya.
“Iya, kau pindah saja. Lebih baik begitu. Agar kau tiap
hari bersama Baekhyun.”, kata eomma.
“Eomma.”, kata
Baekhyun singkat. Wajahnya nampak tidak suka. Sementara itu Eunkyung berpikir,
di rumah dia harus selalu bertemu Baekhyun. Jika dia pindah, itu berarti dia
juga harus bertemu Baekhyun setiap hari. Memikirkan itu saja sudah membuat
Eunkyung mual. Tapi abeoji dan eomma Baekhyun baik sekali.
“Bagaimana Eunkyung?, tanya abeoji pada Eunkyung.
(To be Continue…)
Hwaa..akhirnya chapter 2
datang..mian..mian..lama banget ya..lagi ngumpulin inspirasi inih..dan memang
kemarin-kemarin masih dalam masa hiatus..makasih semua readers yang setia
menunggu..chapter 3 akan segera dataaang :D
Chapter 5 kapan di publish? Udah banyak yg nunggu, tolong publish yaaa makasih
BalasHapus